Mengintip Kampung Pemulung Di Bintara

Tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah Jabodetabek memicu kebutuhan akan lahan yang akan disulap sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan ekonomi tidak dapat dihindari.Hal ini kemudian merangsang harga tanah yang terus melonjak setiap tahunnya.Kira-kira rata-rata kenaikan harga tanah di Jabodetabek berkisar antara 10% sampai 20% setiap tahunnya.

Bagi kelas menengah ini adalah peluang usaha paling menjanjikan di tengah iklim pasar modal yang tidak menentu.Akan terlihat hasilnya apa bila menginvestasikan sejumlah uang dengan cara membeli sebidang tanah seluas-luasnya kemudian menahannya selama mungkin sampai harga tanah tersebut melonjak berkali lipat dari awal membelinya.Ini strategi paling jitu dan tanpa resiko dibanding apabila hanya menyimpan uang dengan cara konvensional atau menyimpannya kedalam bank yang sudah pasti nantinya tergerus laju inflasi.

Sebaliknya untuk kaum berpenghasilan pas-pasan membeli sebidang tanah di wilayah di Jabodetabek adalah impian yang mustahil untuk diwujudkan.Hal tersebut di karenakan tingkat pendapatan yang tidak mengejar kenaikan harga tanah yang meroket setiap tahunnya.

Ketimpangan inilah yang memicu banyak orang berpenghasilan pas-pasan bersikap oportunis.Jangan heran apabila di berbagai wilayah Jabodetabek anda menemui warga yang menempati tempat-tempat yang tidak semestinya.Naluri mempertahankan dirilah yang mengajarkan mereka supaya kuat menerima keadaan dengan segala kemungkinan yang akan menimpa.Tak peduli harus menempuh marabahaya dengan tinggal di tempat ekstrem seperti bantaran sungai,kolong jembatan,pinggiran rel kereta api,serta pemakanan umum.Sebab apa yang ada didalam kepala mereka yang terpenting adalah dapat menghuni tempat tanpa mengeluarkan biaya yang dengan sejumlah uang yang masih terlalu besar bagi mereka.

Hal ini juga yang anda temukan jika berkunjung keperkampungan pemulung yang terdapat di Bintara,Bekasi barat.Dahulu area lahan tersebut merupakan persawahan dan perkampungan yang kemudian diratakan dengan tanah oleh pengembang swasta untuk didirikan real estate.Namun akibat badai ekonomi tahun 1998 keburu menerjang membuat proyek prestisius tersebut ditelantarkan begitu saja.

Awalnya beberapa warga kampung yang rumahnya tidak ikut tergusur pembangunan real estate memanfaat lahan kosong dengan bercocok tanam.Namun entah mengapa kemudian lahan tersebut di jadikan perkampungan kumuh bagi para pemulung.

Rata-rata penghuni perkmpungan pemulung datang dari berbagai daerah.Mereka dapat di bedakan dari dialek bahasa sehari-hari yang  mereka pakai.Umumnya mereka datang dari daerah pesisir utara Jawa barat,Jawa tengah dan pulau Madura.Selain itu ada pula beberapa kelompok masyarakat yang datang dari daerah Sumatera.Mereka dapat dicirikan dengan perbedaan mata pencaharian serta tempat tinggal.Orang-orang dari daerah Sumatera menempati bangunan yang semi permanenSedang para pemulung membangun tempat tinggalnya dengan kayu dan plastik.
.
Jangan anda bayangkan perkampungan pemulung di Bintara layaknya perkampungan yang pernah anda lihat.Berhubung perkampungan tersebut tumbuh dan berkembang sendiri,maka adalah hal wajar apabila kampung itu tumbuh tanpa perencanaan yang jelas.Tak ada jalan beraspal yang menghubungkan rumah satu dengan rumah lain,tak ada gang-gang kecil tertata rapi yang dilalui warga.Bahkan untuk mendapatkan suplai listrik untuk kebutuhan sehari-hari semua di peroleh dengan cara illegal.

Saat musim penghujan keadaan kampung pemulung sangat memprihatinkan.Kampung tersebut berubah menjadi tempat yang mengerikan untuk di huni manusia.Sampah-sampah yang berserakan di setiap beranda rumah,jalanan becek yang sulit dilalui bahkan meski hanya dengan berjalan kaki,serta sanitasi buruk yang buruk,menjadikan siapapun tidak akan nyaman saat berada di perkampungan tersebut.Namun karena naluri bertahan hidup pulalah yang membuat mereka mampu mengenyahkan perasaan ketidak nyamanannya itu.

Untuk area bermain anak-anak dilakukan dimana saja.Bisa di lahan kosong yang masih tersisa,atau sekedar duduk-duduk di depan beranda rumah.Yang jelas meski hidup serba dalam tekanan keterbatasan,mereka dapat memaksimalkan apa yang masih mereka miliki.Tawa mereka masih renyah terdengar menggaung ditengah tumpukan sampah dan gang- gang kotor yang terdapat di perkampungan pemulung tersebut.Beruntung kemudian masih ada orang yang peduli dengan keadaan anak-anak  pemulung,sehingga dibangun tempat bermain yangOleh sebuah yayasan yang dijalankan pegiat aktifis peduli anak-anak pemulun layak dan belajar secara cuma-cuma yang dijalankan oleh aktifis pegiat peduli anak-anak pemulung.

Melihat keadaan ini rasanya pantas apabila warga yang nasibnya lebih mujur dibanding sebagian warga lainnya bersyukur pada Tuhan atas kelonggaran hidup mereka.Di sekitar kita,masih banyak orang-orang yang tidak dapat memilih tempat layak yang untuk mereka tempati.Mereka hidup dibantaran sungai,kolong jembatan,pinggiran rel kereta api,pemakaman umum,serta tempat tidak lazim lain yang seharusnya dihuni oleh manusia.Dengan sedikit memahami kondisi mereka mungin membuat mereka tidak merasa terisolasi pada dunianya.Mereka adalah bagian kita.Dan kita adalah bagian mereka.


2 Responses to "Mengintip Kampung Pemulung Di Bintara"

  1. ikut nyimak cerita nya kawanku...
    salam kawan...
    saya ikut nyimak blogmu,
    mampir jga ke blog ku ya
    biar kita bisa salng berteman sesama blogger

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus